Kawasan Industri
Kawasan Industri di Indonesia pertama
kali dikembangkan oleh pemerintah melalui BUMN pada tahun 1970-an sebagai
reaksi terhadap kebutuhan lahan industri. Dengan semakin menginkatnya arus
investasi di Indonesia, baru kemudian pada tahun 1989 pihak swasta
diperbolehkan mengembangkan kawasan industri. Dalam pengembangan kawasan
industri khususnya pada tahapan pra-kontruksi, terdapat beberapa tahapan utama
yang harus dilalui yaitu antara lain tahap perijinan, pembebasan tanah, dan
tahap perencanaan.
Kawasan Industri adalah suatu tempat pemusatan kegiatan industri yang
dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang disediakan dan dikelola oleh
perusahaan kawasan industri. Hal ini berbeda dengan Zona Industri yang juga merupakan pemusatan
industri tetapi tanpa dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang
memadai. Di Indonesia, pada
awalnya kawasan industri hanya dikembangkan oleh pemerintah melalui BUMN
sebagai reaksi terhadap meningkatnya jumlah industri dengan dampak polusi
lingkungan yang diakibatkannya, keterbatasan infrastruktur, dan masalah
perkembangan kawasan permukiman yang berdekatan dengan lokasi industri. Namun
seiring dengan meningkatnya investasi baik dari dalam negeri maupun dari luar
negeri, maka pemerintah melalui Keppres No. 53 tanggal 27 Oktober tahun 1989
mengijinkan usaha kawasan industri dikembangkan oleh pihak swasta.
Bagi pihak swasta,
kebijakan baru dibidang uasaha kawasan industri ini merupakan suatu peluang
usaha baru yang cukup menguntungkan, sehingga berkembanganlah kawasan-kawasan industri
baru yang dikelola oleh pihak swasta di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
regional, seperti di Jabotabek dan Gerbangkertasusila. Tulisan ini mencoba untuk
memberi gambaran tentang pengembangan suatu kawasan industri. Tulisan ini
diharapkan dapat memperkaya karya tulisan tentang pengembangan kawasan industri
di Indonesia yang merupakan suatubidang usaha yang relatif baru dalam bidang realestat.
Perkembangan Kawasan Industri Di Indonesia
Untuk pertama kalinya pada tahun 1876 kawasan
industri dikembangkan di Inggris yaitu Trafford Park Estates, dengan luas
sekitar 500Ha yang merupakan kawasan industri terluas sampai pada tahun
1950-an. Pada awal abad 20, kawasan industri di Amerika Serikat dikembangkan di
kota Chicago yaitu antara lain Central manufacturing District dibangun pada
tahun 1902 dengan luas 105 Ha, The Clearing Industrial District yang dibangun
pada tahun 1909 seluas 215 Ha, dan The Pershing Road District dibangun tahun
1910 dengan luas 40 Ha. Selanjutnya pada tahun 1960-an di
Amerika Serikat telah berkembang kawasan industri yang dikenal dengan Science Park atau
Technology Park yaitu kawasan industri untuk tujuan penelitian dan
pengembangan. Pada tahun 1970-an, konsep Business Park dikembangkan dimana dalam
suatu kawasan tertampung berbagai kegiatan seperti perkantoran dan industri
yang ditunjang oleh kegiatan perdagangan dan rekreasi. Kemudian baru pada tahun
1980-an kawasan perumahan juga dimasukan dalam kawasan
Business Park.
Di Indonesia, kawasan industry baru
dikembangkan pada awal tahun 1970-an sebagai suatu usaha untuk memenuhi
kegiatan penanaman modal baik dari dalam maupun dari luar negeri. Pada awalnya
Pemerintah mengembangkan kawasan industri melalui Badan Usaha Milik Negara
(BUMN).1 Pada tahun 1973 pemerintah memulai pembangunan kawasan industri yang pertama
yaitu Jakarta Industrial Estate Pulo Gadung (JIEP) dan kemudian disusul oleh
Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) pada tahun 1974. Kawasan industri
(KI) lainnya yang dikembangkan oleh pemerintah
adalah KI Cilacap (1974), KI Medan (1975), KI Makasar (1978), KI Cirebon (1984) dan KI
Lampung (1986).
Selain itu pada
tahun 1986, pemerintah melalui PT. Kawasan Berikat Nusantara mengembangkan
Kawasan Berikat atau Bonded Zone dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor non
migas. Kawasan Berikat merupakan suatu kawasan industri khusus dimana untuk
melancarkan arus barang ekspor semua kegiatan kepabean untuk barang ekspor dilakukan pada
kawasan tersebut dan bahan baku untuk ekspor mendapat fasilitas bebas Bea
Masuk. Seiring dengan perkembangan investasi yang terus meningkat, kemudian
pihak swasta baru dilibatkan dalam usaha kawasan industry melalui Keppres No.
53 tahun 1989 dimana diatur bahwa usaha kawasan industri dapat dilaksanakan
oleh pihak swasta domestic maupun asing dengan atau tanpa partisipasi BUMN. Sejak
pihak swasta diperbolehkan mengembangkan kawasan industri, maka pertumbuhan kawasan
industri bertumbuh dengan pesat sekali. Sampai pada tahun 1994 misalnya, jumlah
kawasan industri yang tercatat di Himpunan Kawasan Industri (HKI) adalah sebanyak
146 lokasi dengan total luas lahan sebesar 42.019 Ha yang sebagian besar
tersebar di propinsi Jawa Barat (21.289 Ha) dan kota Jakarta (3.064 Ha).
Proses Perijinan Kawasan Industri
Proses perijinan untuk kawasan industry
sama seperti bidang usaha realestat lainnya masih rumit dan memakan waktu yang
lama. Menyadari hal ini akan menghambat investasi di Indonesia, maka pemerintah
melalui Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/BKPM mengeluarkan deregulari
dibidang perijinan melalui paket kebijakan Nomor: 15/SK/1993 tanggal 23 Oktober
1993 atau yang lebih dikenal dengan PAKTO 1993. Dalam ketentuan ini proses perijinan,
yang berlaku untuk semua kegiatan investasi seperti perhotelan, perkantoran,
perumahan dan kawasan industri, dibuat lebih sederhana dimana proses perijinan
tanpa melalui instansi Tingkat I lagi tetapi langsung melalui instansi Tingkat
II.
Setelah mendapatkan Surat Persetujuan Penanaman
Modal PMDN/PMA yang juga berlaku sebagai Ijin Prinsip, maka investor dapat langsung
mengajukan Ijin Lokasi kepada Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kotamadya
dilengkapi dengan laporan tentang Penyajian Informasi Lingkungan (PIL).
Sedangkan sebelumnya untuk mendapatkan Ijin Lokasi yang diterbitkan oleh Gubernur
melalui Kakanwil BPN Tingkat I, investor harus memiliki Surat
Konfirmasi Pencadangan Tanah dari Gubernur dan Persetujuan.
Prinsip dari menteri Perindustrian atau
Ketua BKPM. Selanjutnya, bagi suatu perusahaan industry untuk melaksanakan
kegiatan produkssi di dalam kawasan industri diperlukan Ijin Usaha Tetap (IUT).
IUT diajukan kepada BKPM dengan dilengkapi Ijin Lokasi, IMB, Hak atas tanah, Laporan
Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) dan persetujuan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) bagi perusahaan wajib Analisa Dampak Lingkungan
(ANDAL). Secara sederhana berikut ini adalah alur proses perijinan untuk
kawasan industri, namun dalam pelaksanaannya proses ini masih relatif rumit dan
memakan waktu yang lama, karena masih banyaknya persyaratan-persyaratan pelengkap
untuk setiap tahap permohonan dan banyaknya instansi berbeda yang terlibat.
Perencanaan Kawasan Industri
Standar Teknis Kawasan Industri
Dalam merencanakan suatu kawasan industri,
pemerintah melalui Menteri Perindustrian telah menentukan Standar Teknis
Kawasan Industri yaitu melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian
Nomor: 291/M/SK/10/1989 tanggal 28 Oktober 1989. Secara garis besar
standar teknis mencakup beberapa hal yaitu:
1. Komposisi penggunaan lahan
a. Kapling industri : Maximum 70%
b. Ruang terbuka hijau termasuk daerah penyangga
: Minimum 10%
c. Prasarana dan sarana: Luas tanah
sisa (20%)
2. Prasarana yang wajib disediakan
antara lain,
a. Jaringan jalan lingkungan: satu
jalur dengan dua arah, lebar perkerasan minimum 8 meter
b. Saluran pembuangan
air hujan (drainase)
c. Instalasi penyediaan air bersih
bersumber dari PAM dan/atau diusahakan sendiri.
d. Instalasi penyediaan dan jaringan
distribusi tenaga listrik dengan sumber PLN
e. Jaringan telekomunikasi
f. Instalasi pengelolaan air limbah
industri
g. Penerangan jalan
h. Unit perkantoran perusahaan kawasan
industri
i. Unit pemadam kebakaran
Diluar prasarana yang diwajibkan, dapat pula menyediakan
prasarana seperti TPS limbah
padat dan pagar
kawasan industri.
3. Sarana
Sarana yang dapat disediakan yaitu:
kantin, poliklinik, tempat ibadah, rumah penginapan
sementara, fitness center, halte, pos
keamanan, perkantoran untuk bank, pos dan wartel.
Kesimpulan
Di Indonesia, pengembangan kawasan industri
diawali pada awal tahun 1970-an oleh pemerintah melalui BUMN yaitu sebagai
reaksi terhadap meningkatnya penanaman modal dibidang perindustrian. Selanjutnya
sejak tahun 1990-an perkembangan kawasan industri berkembang dengan cepat
setelah pihak swasta dilibatkan dengan diterbitkannya Keppres No. 53 tahun
1989. Namun dalam pengembangan kawasan industri oleh pihak swasta masih
terdapat beberapa kendala antara lain masalah proses perijinan, pembebasan
tanah dan prasarana. Dalam praktek proses perijinan masih relative lama dan berbelit,
pembebasan tanah yang kompleks dan memakan waktu yang lama, serta prasarana yang
tidak memadai seperti jalan utama dan tenaga listrik pada kawasan tertentu. Dibandingkan
dengan negara-negara industry baru lainnya seperti Korea Selatan dan Thailand, pengembangan
kawsan industri di Indonesia memang masih tertinggal. Di Thailand misalnya,
pengembangan industri diserahkan kepada suatu badan otoritas, sehingga semua masalah
perijinan, pembebasan tanah dan prasana sudah disiapkan sejak awal dan investor
tinggal langsung masuk ke kawasan industri. Pada tahun 1972 dibentuk suatu
Badan Otorita yaitu Industrial Estate Authority of Thailand (IEAT) yang
bertugas untuk mengembangkan kawasan Industri dan memberi pelayanan yang mudah
dan cepat untuk semua kegiatan industry yaitu seperti semua proses perijinan,
pelayanan informasi-informasi seperti investasi, pendirian perusahaan, sumber
pendanaan, perancangan dan konstruksi pabrik, serta studi kelayakan.
Sumber :
“Kawasan Industri: Harga, Sarana, Manaje men,”Properti, Januari 1994
“Keputusan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman
Modal Nomor: 15/SK/1993 Tentang Tata Cara Permohonan Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing.” Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/ Ketua BKPM, 23 Oktober 1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar