Senin, 05 November 2012

Penganiayaan TKI Indonesia di Luar Negeri

         Permasalahan TKI di Indonesia terus saja berlanjut tak ada habisnya , bahkan sekarang ini banyak TKI TKI yang terlantar dan menjadi korban aniaya dari para majikannya di luar Negeri. Akan tetapi Pemerintah seakan lepas tangan atas apa yang telah terjadi terhadap TKI dan Non TKI asal Indonesia di luar negeri, yang merupakan WNI asli , seharusnya pemerintah melindungi bukan melakukan diskriminasi terhadap TKI di luar negeri . Bahkan beberapa Pengamat mengamati bahwa pemerintah seakan tidak serius dalam menangani kasus TKI di luar negeri.

        Pengamat masalah ketenaga kerjaan Janzy Sofyan menilai pemerintah telah melakukan diskriminasi dalam menangani persoalan WNI nontenaga kerja Indonesia (TKI) dan TKI di luar negeri. Untuk masalah di Mesir, ujar Janzy Sofyan kepada pers di Jakarta, Jumat (11/2), pemerintah demikian tergopoh-gopoh melakukan evakuasi WNI. Sementara ada ribuan TKI yang sudah sedemikian lama terlunta-lunta di luar negeri hingga kini tidak mendapat perhatian sama sekali oleh pemerintah.

"Padahal baik TKI maupun non TKI yang ada di luar negeri, semuanya adalah warga negara Indonesia yang seharusnya mendapat perhatian dan perlakuan sama oleh pemerintah," ujarnya.

Ditegaskannya bahwa diskriminasi perlakuan pemerintah itu seolah telah menempatkan para TKI sebagai kasta terendah dalam struktur masyarakat yang ada.

Mengenai keberadaan TKI yang ada di Mesir, Janzy Sofyan mempertanyakan apakah benar ada TKI di negara itu mengingat hingga saat ini Indonesia tidak punya perjanjian khusus dengan Mesir terkait penempatan para TKI itu.

"Kalaupun ada TKI di Mesir, lalu darimana mereka masuk karena hingga detik ini Indonesia tidak punya `agreement` soal penempatan tenaga kerja ke negara itu," ujarnya seraya menambahkan wajar saja jika Menakertrans Muhaimin Iskandar kesulitan memverifikasi TKI yang ada di Mesir dan perlu dievakuasi.

Menurut Janzy, kalaupun ternyata ada TKI di Mesir maka hal itu ilegal dan ada ketidakberesan dalam penyaluran tenaga kerja sehingga harus diusut siapa yang telah menyalurkannya.

Sementara mengenai konflik di Mesir yang mengancam para WNI di negara itu, Janzy percaya bahwa warga Mesir tidak akan melukai orang-orang asing yang ada di sana.

Dia mencontohkan peristiwa kerusuhan massa di Indonesia pada tahun 1998 lalu, dimana tidak pernah terdengar ada warga negara asing yang terluka atau bahkan terbunuh dalam insiden berdarah itu.

"Kalau kita bandingkan dengan kondisi kita sendiri waktu chaos 1998, tidak pernah terdengar ada warga negara asing yang teraniaya oleh massa. Karenanya saya juga yakin di Mesir pun nantinya tidak sampai ada warga asing yang dilukai karena mereka bukan sasaran," demikian Janzy Sofyan .

         Juga TKI asal Sukabumi hampir 1 bulan sekali ada laporan mengenai TKI  yang bermasalah atau pemulangan jenazah TKI. Ini yang membuat Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kapubaten Sukabumi terus tanggap. “Sampai Pak Jumhur (Kepala BNP2TKI) bilang saya cerewet karena sering menghubungi untuk menanyakan kondisi para TKI Sukabumi yang bermasalah,” kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sukabumi, Aam Ammar Halim Namun.

          Dia mengaku tidak tersinggung dengan ucapan itu. Permasalahan TKI, kata dia, bukan hanya permasalahan daerah, tapi juga nasional dan internasional. Karena sudah melintasi administrasi antar Negara. “Sebagai sebuah institusi kita harus selalu tanggap dan merespon setiap laporan yang masuk,” katanya, Jumat (17/2/2012).

         Kasus penganiayaan yang dialami tenaga kerja Indonesia di luar negeri adalah hal yang selalu berulang karena belum ada perlindungan yang memadai dari pemerintah. 
       "Dari dulu sampai sekarang kasus TKI tak ada bedanya. Tahun 1985 ada kasus Nasiroh, TKI asal Cianjur, kini kasus serupa dialami Sumiati," kata Nur Harsono dari Divisi Advokasi Migrant Care dalam diskusi tentang buruh migran yang berlangsung Jumat malam di Jakarta.

          Dia mengemukakan kasus - kasus TKI itu tak akan pernah selesai karena tak ada itikad dari pemerintah untuk menyelesaikannya dan pemerintah terus mengirimkan orang ke luar negeri atas nama pengentasan kemiskinan tanpa melindunginya.

         "Dalih pemerintah untuk mendapat remiten tetapi yang dikorbankan adalah rakyat," kata Nur. Dia juga mengemukakan pengiriman TKI bisa disebut tanda-tanda perdagangan manusia oleh pemerintah yang mengkomoditi rakyatnya dengan dalih mengurangi kemiskinan.

"Dan negara absen dari tanggung jawab," ujarnya.

           Mengenai rencana pemerintah membagikan telepon genggam untuk para TKI, Nur mengatakan "Konyol. Orang awam saja tahu kalau apa yang melekat pada tubuh TKI itu akan disita majikan di Arab, apalagi telepon genggam."

          Sementara itu Jamaluddin Suryahadikusuma dari Serikat Buruh Migran Indonesia mengatakan bahwa data pada tahun 2007 menunjukkan kedatangan TKI ke tanah air mencapai 290.091 orang dan dari jumlah itu yang mengalami kasus sebesar 54.927 orang. Pada tahun 2008 TKI yang berkasus meningkat sekitar 25 ribu kasus, dan jumlah itu terus naik setiap tahun.

          Jamaluddin mengatakan kasus-kasus yang dialami antara lain PHK, buruh sakit yang dipulangkan, gaji tak dibayar, penganiayaan, pelecehan seksual, TKI hamil, pulang dengan anak.

"Akar persoalannya UU. No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI justru tidak melindungi mereka," ujarnya.

          Ia mencontohkan setiap ada persoalan terhadap TKI di luar negeri, pemerintah mendesak negara lain membuat undang-undang perlindungan. "Tetapi di dalam negeri sendiri pemerintah tak mau membuat undang-undang yang benar benar melindungi para pembantu rumah tangga," katanya.

         Hal senada dikemukakan Beno Widodo, Koordinator DPO KASBI. "Berbicara mengenai TKI sama dengan membicarakan tenaga kerja yang lain di Indonesia," katanya.  Beno mengungkapkan jika di luar negeri ada ratusan kasus mengenai persoalan yang dihadapi TKI maka di dalam negeri ada ratusan ribu kasus mengenai tenaga kerja yang tak terselesaikan. "Problem ini karena negara melepas tanggung jawabnya," tuturnya.

         Ia mengemukakan seharusnya negara mengambil alih pengiriman TKI keluar negeri dan bukan diserahkan ke pihak swasta.


          Pemerintahan Indonesia yang terkesan menutup mata terhadap masalah ini, penyebab utamanya adalah karena kebijakan luar negeri RI terlalu berfokus pada masalah-masalah internasional sehingga seolah melupakan masalah-masalah dalam negeri Indonesia sendiri. Pemerintah Indonesia yang mengorientasikan fokusnya pada masalah kerjasama internasional dengan negara-negara besar seperti Amerika, Cina, dan Jepang atau ikut ambil andil dalam isu-isu global seperti perubahan iklim dan human trafficking menjadikan posisi Indonesia lemah dalam hal diplomasi serumpun. Pemerintah cenderung terus mengedepankan jalan perdamaian terhadap tetangga yang justru melakukan hal sebaliknya. Akbatnya adalah martabat Indonesia yang dapat dengan mudah dilecehkan oleh negara ASIA yang lain .

           Seharusnya pemerintah dalam hal ini bergerak dengan serius , karena masalah ini bukan hanya mencoreng nilai pemerintah dimata masyarakat karena tidak bisa menjamin kesejahteraan bagi masyarakatnya. Pemerintah seharusnya bertindak tegas terhadap majikan majikan TKI yang melakukan peganiayan di luar negeri sehingga tidak ada tekanan atau depresi terhadap TKI yang mengalaminya , dan juga pemerintah melakukan ganti rugi atau pengobatan gratis bagi para TKI yang mengalami penganiayaan .  

      Apresiasi yang kurang dari dalam negeri terhadap WNI yang bekerja di luar negeri merupakan faktor lain yang membuat kasus penganiayaan semacam ini dapat dengan mudah terjadi. Perlindungan akan timbul  mencapai tingkat yang sangat tinggi saat ada TKI di negara asia yang menjadi korban pembunuhan atau penganiayan oleh majikan tanpa diberikan perlindungan dari Pemerintah INdonesia. Langkah preventif guna meminimalisasi melindungi TKI tidak pernah dilakukan. Setelah adanya korban, barulah secara serentak rakyat Indonesia meneriakkan penuntutan perlindungan yang sebenarnya telat dan tidak bisa diandalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar