Krisis global
adalah peristiwa dimana seluruh sektor ekonomi di pasar dunia mengalami
keruntuhan (keadaan gawat) dan mempengaruhi sektor lainnya di seluruh
dunia. Krisis global ini berawal pada negara adidaya Amerika Serikat (AS)
dimana dimulai dari kredit macet perumahan di Amerika Serikat yang merupakan
sentrum bagi perekonomian dunia. Akibat dari krisis global yang terjadi di AS,
ini member dampak besar pada dunia.
Ini
dapat kita lihat bahwa negara adidaya yang memegang kendali ekonomi pasar dunia
yang mengalami keruntuhan besar dari sektor ekonominya. Bencana pasar keuangan
akibat rontoknya perusahaan keuangan dan bank-bank besar di Negeri Paman Sam
satu per satu, tinggal menunggu waktu saja. Bangkrutnya Lehman Brothers
langsung mengguncang bursa saham di seluruh dunia. Bursa saham di kawasan Asia
seperti di Jepang, Hongkong, China, Asutralia, Singapura, India, Taiwan dan
Korea Selatan, mengalami penurunan drastis 7 sd 10 persen. Termasuk bursa saham
di kawasan Timur Tengah, Rusia, Eropa, Amerika Selatan dan Amerika Utara. Tak
terkecuali di AS sendiri, Para investor di Bursa Wall Street mengalami kerugian
besar.
Krisis ekonomi mempunyai empat unsur yang jelas. Unsur yang pertama adalah
kejadian yang penuh resiko. Ini adalah kejadian yang mengawali suatu reaksi
yang berantai dari kejadian-kejadian yang mencapai puncaknya dalam suatu
krisis. Unsur yang kedua adalah keadaan rentan. Tidak semua peristiwa ini
membawa seseorang kepada suatu krisis. Kalau krisis tidak rentan, pasti krisis
itu tidak akan mungkin terjadi. Unsur yang ketiga adalah faktor-faktor yang
menimbulkan krisis tersebut. Artinya faktor terakhir yang perlu di tambahkan
adalah krisis yang aktif. Sedangkan arti istilah global dianggap berkaitan erat
dengan “sedunia, secara masal, secara umum”. Jadi krisis global adalah suatu
keadaan gawat, krisis yang terjadi di seluruh dunia atau mendapat dampak di
seluruh dunia
Adapun terjadinya krisis global di akibatkan antara
lain:
1. Tingginya harga kebutuhan
2. Penyaluran kredit secara berlebihan sehingga tidak
memperhatikan kemampuan
membayar dari konsumen.
3. Krisis kepercayaan dari para pelaku pasar, warga Negara,
bahkan antar Negara
4. Spekulasi berlebihan dari para spekulan
5. Bidang usaha dari ekonomi makro
tidak berjalan seiring dengan ekonomi mikro
Dampak krisis global terus bergerak ke berbagai belahan bumi, termasuk ke Asia.
Ini menyebabkan banyak perusahaan-perusahaan atau industry yang gulung tikar,
yang disebabkan tidak mampunya mengatasi krisis ekonomi global. Dampaknya bagi
pekerja banyaknya pekerja yang di PHK yang akan menimbulkan banyak pengaguran
dan meningkatnya angka kemiskinan.
Ini dikonfirmasi oleh hasil studi terbaru Asian Development Bank (ADB) yang
mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi Asia 2012 dari 6,9 persen menjadi 6,1
persen. Dalam laporan bertajuk Asia Economic Outlook Update 2012, ADB
mengungkapkan melambannya pertumbuhan dua lokomotif ekonomi Asia (Cina dan
India). Cina diproyeksikan terkoreksi 0,8 persen menjadi 7,7 persen dan India
turun 1,4 persen menjadi 5,6 persen.
Guncangan ekonomi Cina dan India yang merupakan derivasi krisis utang Eropa dan
curamnya tebing finansial di AS, sedari awal kurang diantisipasi secara cermat
dan cepat oleh dua negara emerging market yang pertumbuhan ekonominya ditopang
oleh ekspor itu.
Kontribusi sektor ekpor terhadap PDB Cina mencapai 70 persen dengan tujuan ekspor tebesar ke Uni Eropa disusul ke AS. Seperti dikutip dari www.tradingeconomics.com, Perdagangan luar negeri Cina ke Uni Eropa dalam periode Januari-Agustus jatuh 1,9 persen year on year ke angka 365,05 miliar dolar AS.
Kita bernafas lega karena Indonesia masih menjadi primadona di antara negara-negara Asia lainnya. Berbagai pujian menghampiri Indonesia karena tetap tumbuh mengesankan. Dengan predikat sebagai runner up pertumbuhan ekonomi global di belakang Cina, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2012 diproyeksikan hanya menurun tipis 0,1 persen dari 6,4 persen menjadi 6,3 persen.
Namun demikian, perisai kewaspadaan mesti terus dipasang. Sejumlah pengamat memperkirakan jika dunia akan memasuki guncangan jilid tiga dari krisis global dalam lima tahun terakhir. Ini implikasi hard landing Cina yang banyak menyerap komoditas internasional untuk kebutuhan manufaktur Negeri Tirai Bambu, sehingga dipastikan memengaruhi negara mitra dagangnya.
Misalnya saja, Australia yang disebut oleh Bloomberg Businessweek mengalami kebekuan, akibat ekspor biji besi dan batu bara Negeri Kangguru itu ke Cina menurun sangat drastis.
Pada titik inilah relevansi pesan John Micklethwait dan Aldrian Wooldridge di dalam bukunya A Future Perfect (2000) yang mengupas tantangan dan harapan di balik globalisasi. Dua ekonomi ini menulis, bahwa globalisasi sebagai main frame agenda liberalisasi mengarahkan negara-negara untuk tumbuh menjadi kuat.
Logika liberatif ini menandaskan bila setiap entitas global baik non state actors maupun state actor, harus dalam posisi waspada krisis agar tak mudah terseret oleh arus anomali yang mungkin terjadi tanpa terduga.
Menurunnya kinerja ekspor yang sempat membuat neraca perdagangan Indonesia defisit pada bulan Agustus lalu, adalah sinyalemen bila krisis juga telah merayap ke Indonesia. Sehingga harus ada langkah antisipasi second round effect krisis global agar gairah pertumbuhan tetap stabil. Untuk itu, ada beberapa langkah antisipasi yang bisa dilakukan.
Pertama, menjaga konsumsi domestik. Modalitas Indonesia melampauai dua gelombang krisis, tahun 2008 dan 2011, karena besarnya konsumsi domestik yang didorong oleh kelompok kelas menengah. Mereka adalah motor perekonomian sesungguhnya yang diidentifikais oleh majalah bergengsi terbitan AS, Foreign Policy sebagai masyarakat dengan tingkat confidence tinggi dan penyelamat ekonomi Indonesia.
Dengan daya beli tinggi dari kelompok kelas menengah yang berjumlah 134 juta jiwa menurut Bank Dunia, mesin perekonomian Indonesia terus bekerja. Ini tentu saja mensyaratkan instrumen-instrumen mikro yang terjaga. Survei Nielsen Media Research yang dilansir pada Mei 2012, menandaskan bila indeks optimisme konsumen Indonesia menduduki peringkat terbaik kedua di dunia.
Rencana penaikan TDL sebesar 15 persen untuk kapasitas 1.300 VA ke atas pada tahun 2013 yang ototmatis juga berdampak pada industri, harus disiasati agar tidak mengerek harga barang-barang kebutuhan konsumsi masyarakat.
Sebab kenaikan TDL rentan menyebabkan kepanikan konsumen. Apa lagi bila ditunggangi oleh kepentingan politik yang menjadi variabel “tak terduga” dalam stabilitas perekonomian nasional.
Kedua, mendorong industrialisasi. Komoditas yang sebagian besar menjadi andalan ekspor, seperti sawit, karet, kayu, rotan merupakan bahan mentah atau setengah jadi tanpa nilai tambah sehingga berdaya saing lemah.
Oleh karena itu, perlu dibuat regulasi yang memproteksi pasar domestik (tanpa mengisolasi Indonesia dari perannya sebagai entitas global). Mulai dari pembatasan ekspor bahan mentah, memberikan kompensasi bagi industri dalam negeri serta pembatasan impor.
Industrialisasi juga menjawab suplai kebutuhan dalam negeri yang tidak mampu bersaing dengan impor sehingga volume impor semakin besar untuk memenuhi permintaan pasar. Pemerintah juga harus menyiapkan penyokong industri seperti infrastruktur, suplai energi dan aksesabilitas teknologi. Untuk jangka panjang, industrialisasi akan sangat menentukan kedaulatan ekonomi nasional.
Ketiga, memperkuat sektor kewirausahaan. Ada satu artikel menarik yang diterbitkan Market Watch. Media yang berafiliasi dengan The Wall Street Journal menurunkan tulisan berjudul Wanted In Indonesia: Entrepreneurs Hungry For More yang menyoroti sektor kewirausahaan dengan daya serap 60 persen tenaga kerja di Indonesia namun tidak mampu memberikan benefit besar bagi pelakunya maupun bagi negara.
Market Watch melihat ironi ini karena lemahnya perhatian pemerintah pada sektor kewirausahaan. Market Watch merekomendasikan agar masalah itu segera disikapi dengan pemberdayaan dan regulasi baru agar para pelaku usaha mikro kecil dan menengah yang disebut di luar jangkauan pemerintah, bisa mengelola pertumbuhan, meningkatkan produktivitas, serta bersaing secara lebih luas dan tidak stagnan pada level ‘mikro kecil’.
Sebagai pelaku ekonomi informal, yang pada krisis 2008 turut menyelamatkan ekonomi Indonesia, UMKM perlu dorongan agar bisa mempebesar skala usaha sehingga memiliki imunitas terhadap krisis. Dengan kondisis seperti saat ini, dimana penghasilan bersih rata-rata hanya dua dolar AS perhari, tanpa upaya perlindungan, pelaku UMKM akan meradang kala krisis mengoreksi konsumsi domestik. Pada umumnya, nafas UMKM bergantung dengan konsumen domsetik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar