Selasa, 04 Desember 2012

Sila Ke 3 Persatuan Indonesia


 ““Kita mendirikan suatu negara “semua untuk semua”. Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar suatu nationale staat”
(Bung Karno, 1 Juni 1945)
      Kebangsaan Indonesia merefleksikan suatu kesatuan dalam keragaman serta kebaruan dalam kesilaman. Dalam ungkapan Clifford Geertz, Indonesia ibarat anggur tua dalam botol baru, alias gugusan masyarakat lama dalam negara baru, old societies, new state. Nama Indonesia sebagai proyek “nasionalisme politik” (political nationalism) memang baru diperkenalkan sekitar 1920-an. Akan tetapi, ia tidaklah muncul dari ruang hampa, melainkan berakar pada tanah air beserta elemen-elemen sosial-budaya yang telah ribuan bahkan jutaan tahun lamanya hadir di Nusantara. 
          Bangsa (nation) adalah suatu “konsepsi kultural” tentang suatu komunitas politis yang secara keseleruhan dibayangkan sebagai kerabat yang bersifat terbatas dan berdaulat. Bayangan tentang komunitas politis bersama ini bisa timbul karena kebersamaan historis, kesamaan mitos, dan kenangan sejarah, berbagai budaya publik massa dan ekonomi bersama, kesamaan hak-hak legal dan kewajiban bagi semua anggota komunitas tersebut. Dalam komunitas politik dewasa ini, batas bayangan komunitas itu secara politik menjelma dalam bentuk negara-bangsa. Sedangkan yang dimaksud dengan negara (state) adalah suatu konsepsi politik yang berdaulat, yang tumbuh berdasarkan kesepakatan atau kontrak sosial yang meletakkan individu ke dalam kerangka kewarganegaraan (citizenship). Dalam kerangka ini, individu dipertautkan kepada satu unit politik (negara) dalam kedudukan yang sederajat di depan hukum. Dengan kata lain, bangsa beroperasi atas prinsip hukum dan keadilan. 
         Sebagai nasionalisme politik, Mohammad Hatta pernah berkata, “Bagi kami, Indonesia menyatakan satu tujuan politik, karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan dan untuk mewujudkannya, setiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya”. Indonesia termasuk sebagai negara muda. Negara muda dan atau negara yang baru lahir biasanya tidak selalu memiliki rasa nasionalisme yang kuat. Rasa nasionalisme merupakan sebuah proses yang harus ditumbuhkembangkan. Sebuah negara yang baru merdeka biasanya memiliki persoalan perpecahan antar etnik (suku), ras, agama, ancaman separatisme serta kerusuhan-kerusuhan lainnya.
Dalam sejarahnya, Indonesia memiliki banyak contoh tentang separatisme. Misalnya saja: Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, PRRI-Permesta, Gerakan Aceh Merdeka, Separatisme di Papua Barat. Indonesia pun memiliki contoh tentang perpecahan dan kerusuhan antar etnik dan agama . Contohnya: konflik Islam-Kristen di Ambon dan konflik etnik Dayak-Madura di Kalimantan.

Memasuki usia yang tak muda lagi, Indonesia memiliki banyak cerita. Perayaan HUT RI setahun lampau yang bertepatan dengan bulan ramadhan 1432 H yang juga bertepatan dengan hari ke-17 ramadhan ini bisa dikatakan aman, lancar, dan terkendali, begitu pula yang terjadi di daerah-daerah. Namun, ada catatan kecil di Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-66, yaitu terdapat beberapa gangguan, salah satunya aksi pengibaran bendera bintang kejora oleh Organisasi Papua Merdeka. Namun, aksi tersebut berhasil dikendalikan oleh aparat/ tentara walaupun hanya berupa tindakan persuasif. Memang gerakan separatis semacam itu mengancam persatuan dan kesatuan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menanggapi permasalahan berhubungan dengan sila ke-3 Pancasila “Persatuan Indonesia”, muncul pertanyaan ‘apakah Indonesia bisa bertahan hingga seabad lamanya?’. Mengingat selama 66 tahun bangsa ini telah banyak bermunculan gerakan separatis, seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM), Republik Maluku Selatan (RMS), Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Bahkan negara yang pernah berjaya, ampuh, dan adidaya seperti Uni Soviet pun akhirnya runtuh juga. Mungkinkah nasib Indonesia akan berakhir seperti Uni Soviet ataukah jaya seperti Amerika Serikat. Menjawab permasalahan itu, kita sebagai penerus bangsa harus bisa berusaha agar nantinya mampu memimpin Indonesia dengan baik. Tentunya dengan bercermin pada tragedi masa lalu, misal Timor Timur yang memisahkan diri dari Republik Indonesia ketika pemerintahan dipegang oleh B.J. Habibie yang kemudian berubah menjadi negara Timor Leste. Nah, bagaimanakah Indonesia di HUT ke-67 kelak, apakah semakin baik apakah buruk. Em..,kita nanti saja…
Sering kita jumpai pula aksi tawuran atau bentrokan di dalam masyarakat, mulai yang sifatnya ringan hingga yang berat. Intensitas aksi tawuran di Indonesia lebih banyak terjadi di wilayah timur daripada barat, walaupun tidak bisa dielakkan wilayah barat Indonesia juga sering dan berpeluang terjadi bentrokkan. Baik itu anak-anak sampai orang dewasa mengenal tawuran/ bentrokan, lihat saja anak sekolah dasar mengenal tawuran begitu pula anak SMP maupun SMA. Hal-hal pemicu terjadinya bentrokan biasanya hanyalah masalah sepele, seperti tawuran suporter sepak bola yang pemicunya saling ejek antara suporter satu dengan yang lainnya. Ada juga yang berat yaitu bentrokan antarsuku maupun etnis, biasanya terjadi di Indonesia bagian timur misalnya Papua, Maluku, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Bahkan bentrok antarsuku ini berlarut-larut dan tak kunjung selesai sampai melibatkan polisi dan tentara untuk menyelesaikan masalah tersebut maupun untuk mengamankan perbatasan kedua wilayah. Peristiwa tersebut sangat merugikan karena selain menimbulkan korban jiwa dan materi juga menimbulkan bekas psikis yang tak kunjung hilang bagi korbannya. Tragedi lain yang paling booming adalah bentrokan di Temanggung yang notabennya didalangi untuk mengacaukan/ memusnahkan warga ahmadiyah di wilayah tersebut, begitu pula yang terjadi di Cikeusik. Aksi anarkis ‘syetan kalap’ sampai membakar masjid tempat beribadat warga ahmadiyah merupakan suatu tindakan yang biadab bahkan sampai menelan korban jiwa. Satu lagi tragedi yang paling membekas adalah keangkuhan Front Pembela Islam (FPI) ketika sedang ada aksi damai antarumat beragama di Monas beberapa tahun yang lalu. Ketika itu, FPI dengan seenaknya menghakimi setiap orang yang menghadiri aksi damai tersebut. Memang bentrokkan merupakan suatu hal yang biasa di dalam masyarakat kita. Bahkan anak sekolah dasar pun telah mengenal tawuran. Jika sudah demikian, mau jadi apa bangsa ini? Mengingat para penerus bangsa betingkah laku amburadul.
Bentrokan/ tawuran dan munculnya gerakan separatis membuktikan bahwa nilai Pancasila sudah mulai luntur. Banyak orang yang sudah lupa dengan Pancasila bahkan mengimplementasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satunya adalah lunturnya sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia. Bentrokan dan aksi separatis telah mengacaukan dan merongrongpersatuan dan kesatuan bangsa. Persatuan dan kesatuan bangsa merupakan hal yang penting mengingat sangat menentukan utuhnya suatu bangsa dan umurnya. Dijelaskan dalam buku Filsafat Pancasila karangan Drs. Kaelan, M.S. bahwa persatuan Indonesia dijelaskan dalam penjelasan resmi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang termuat dalam Berita Republik Indonesia tahun ke II, No. 7 bahwa mendirikan negara Indonesia dipakai aliran pengertian ‘negara persatuan’, yaitu negara yang mengatasi segala paham golongan dan paham perseorangan. Jadi, bukan negara berdasarkan individualisme dan juga bukan negara klass staat (negara klassa) yang mengutamakan satu golongan. Maka negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan asas kekeluargaan, tolong-menolong, menolong dengan dasar keadilan sosial. Maka dapat dipahami bahwa tujuan mendirikan negara Indonesia antara lain adalah mengutamakan seluruh bangsa Indonesia. Dengan demikian, untuk mewujudkan Indonesia mampu berumur ratusan tahun harus mengamalkan Pancasila sila ketiga secara konsekuen dan mendasarkan asas kekeluargaan dan tolong-menolong.
Bukankah hal yang mustahil jika nantinya Indonesia bisa menjadi negara adidaya. Namun, juga bukan mustahil jika Indonesia bisa runtuh. Ada empat kemungkinan yang bisa terjadi terhadap negara kita. Pertama, Indonesia akan jaya menjadi negara adidaya yang kemudian runtuh. Kedua, Indonesia akan menjadi negara yang biasa-biasa saja seperti sekarang ini, namun pada akhirnya runtuh. Ketiga, Indonesia biasa-biasa saja dari sekarang sampai mendatang dan tetap hidup. Keempat, Indonesia seperti kondisi sekarang sampai masa mendatang (konstan) dan pada akhirnya jatuh/ runtuh. Berbagai kemungkinan bisa saja terjadi baik itu bagus maupun buruk. Hal buruk bisa saja terjadi jika masyarakat Indonesia acuh dan melupakan terhadap dasar negara kita dan tanda-tanda itu telah ada sekarang. Untuk itu tentu saja memerlukan “Persatuan Indonesia” sekokoh-kokohnya. Hasrat persatuan harus menjadi dasar fundamen dari negara Indonesia.


Indonesia tanah berseri, tanah yang aku sayangi. Marilah kita berjanji Indonesia abadi. Selamatlah rakyatnya, selamatlah puteranya, pulaunya, lautnya, semuanya. Majulah Negerinya majulah pandunya untuk Indonesia Raya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar